Hendropriyono Buka-bukaan soal Kasus Munir

Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono membantah terlibat dalam kasus pembnunuhan Munir Said Thalib. . (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Follow Us

Jurnal Pilar | Ibnu Sayyid Daffa

Jakarta, Pilarnusantara.id – Sorotan kepada Abdullah Mahmud Hendropriyono tak pernah luput dalam cerita kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib pada 7 September 2004. Saat itu, Hendropriyono menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) setelah pensiun dari militer.

Dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Pembunuhan Munir yang saat ini tak jelas keberadaannya disebut-sebut memuat nama Hendropriyono sebagai salah satu pejabat BIN yang belum pernah diperiksa dan diadili dalam kasus Munir. Sampai saat ini, dokumen tersebut pun tidak pernah dibuka ke publik.

Bacaan Lainnya

Mereka yang pernah diadili dalam kematian Munir salah satunya yaitu mantan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus ia bersalah dan menghukumnya 14 tahun penjara pada 12 Desember 2005.

Kemudian, Muchdi Pr, mantan Deputi V BIN yang diduga terlibat dalam kematian Munir juga pernah menjalani sidang. Namun, ia akhirnya divonis bebas.

Dilansir dari CNN Indonesia di kediamannya pada Rabu (15/2), Hendropriyono membantah keterlibatan dirinya dalam kematian Munir. Ia bahkan mengundurkan diri dari BIN setelah Munir tewas dibunuh. Berikut ini petikan dari CNN Indonesia dengan AM Hendropriyono.

Nama Anda kerap dikaitkan dengan pembunuhan Munir, karena saat itu Anda menjabat sebagai Kepala BIN. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya sempat bertemu Munir. Akhirnya pertemuan itu diatur oleh radio, kalau tidak salah Kayu Manis. Yang saya ingat Ibu Maria Ulfah, almarhum Munir, dan saya. Bicara soal HAM. Saya kira dia anak pintar, bisa jadi ‘orang’. Pintar cara dia menyampaikan, antara lain soal komando teritorial, lalu soal kenapa pemerintah menindas rakyat yang harus dibela. Kenapa rakyat minoritas yang ditindas mayoritas. Beliau menjelaskan dengan sangat jelas kepada saya, sehingga saya punya pikiran bahwa sewaktu-waktu mesti bicara di BIN, lalu gagal dan lupa karena banyak sekali pekerjaan saya.

Tiba-tiba ada berita almarhum meninggal. Aduh, ini kenapa ini. Koran saya baca beritanya, sakit liver. Banyak spekulasi karena tidak logis. Lalu, loh kok arahnya ke BIN. Waduh, saya resign saja dari kepala BIN. Maksud saya, supaya tidak ada di titik dilema. Karena kalau saya Kepala BIN, nanti kalau ada pemeriksaan dikira saya halangi. Tidak bagus. Kalau saya Kepala BIN, kalau saya mau diperiksa, nanti dikira saya tidak mau diperiksa. Kalau saya keluar, saya orang biasa. Silakan periksa. Pemeriksaan berlangsung.

Saya tidak pernah hambat karena saya berhenti sebagai Kepala BIN. Saya tidak serah terima loh ke kepala BIN berikutnya. Saya serahkan kepada wakil kepala BIN. Saya berhenti supaya bebas… dan luar biasa hiruk-pikuknya. Ngeri saya itu. Saya deg-degan juga, saya takut jangan-jangan yang bunuh orang BIN. Saya tanggung jawab paling tidak moral. Ternyata informan, namanya agen luar BIN. Saya kira orang Ambon, namanya Pollycarpus. Saya tidak kenal. Tidak kenal sama sekali, namanya pun saya tidak pernah tahu.

Jadi Pollycarpus agen luar BIN?

Namanya agen luar itu informan. Informan ini banyak sekali dan kerjanya memberikan info. Saya tidak suka adanya lembaga informan, karena mereka ini berlomba-lomba mencari muka kepada saya, Kepala BIN. Itu yang namanya intel Melayu.

Pollycarpus bukan anggota BIN?

Tidak ada. Dia belakangan saya tahu setelah saya ikuti semuanya. Saya ngobrol sama teman-teman, dia itu selalu ingin berbuat supaya dia jadi anak emas informan BIN. Waktu itu Deputi Penggalangan Muchdi Pr, dia dari Kopassus pun orang saringan. Lalu katanya ada surat perintah dari dia. Saya tanya ke dia, Pak Muchdi ada surat itu? (Katanya) “Kapan saya bikin surat perintah?” Ditangkap dan diperiksa kan tidak ada yang menghalangi. Saya kasihan loh sama Muchdi. Akhirnya kan tidak terbukti semua.